Secara umum standar mutu dan harga produk sarang burung walet ditentukan oleh beberapa hal sebagai berikut: bentuk sarang, kebersihan sarang dan bulu, kadar air, warna, ketebalan dan ukuran sarang.
Banyaknya faktor yang selama ini digunakan untuk melakukan penilaian terhadap kualitas sarang burung walet mengakibatkan terjadinya keanekaragaman tingkat mutu dan kualitas pada komoditi jenis ini. dengan adanya tingkat kualitas ini, mengakibatkan pula terjadinya tingkat penilaian harga yang cukup besar bagi setiap kilogram produk sarang burung walet yang dijual oleh peternak walet di berbagai daerah. Kenyataan di pasaran menunjukkan, bahwa perbandingan harga sarang dapat berkisar antara satu untuk sarang berkualitas rendah dan tujuh kali lipat harganya bagi sarang berkualitas tinggi. Dengan kata lain semakin rendah kualitas sarang walet yang dijual, maka semakin rendah pula kemampuan tawar (bargaining power) peternak walet dalam melakukan transaksi dengan pedagang.
Selama ini yang terjadi pada usaha sarang burung walet di berbagai daerah adalah bahwa para peternak walet kurang mampu meraih nilai tambah tertinggi dari produk sarang burung yang dihasilkannya, semua ini berkaitan dengan tingkat performansi (penampilan) sarang burung walet yang dihasilkan tersebut kurang mampu memenuhi syarat-syarat kualitas tertinggi.
Namun karena pola panen sarang burung walet yang dipakai oleh kebanyakan peternak adalah " Pola Panen Tetasan", maka sarangnya menjadi tercemar baik oleh bulu maupun kotoran yang terdiri dari debu, bekas hama pengganggu dan lain sebagainya. Hal ini karena sarang walet tersebut sebelum dipanen, telah digunakan oleh burung walet itu untuk mengerami dan menetaskan telurnya serta mengasuh anak-anaknya. Sehingga akibatnya sarang walet itu mengalami perubahan warna (tidak putih bersih lagi) karena dipenuhi oleh bulu dan kotoran dari walet itu sendiri.
Pola panen ini secara umum diterapkan oleh para peternak walet di daerah dengan tujuan untuk mengembangkan populasi burung walet sebanyak-banyaknya sebelum nantinya digunakan pola panen lainnya. Namun konsekuensi dari pola panen seperti ini adalah kualitas sarangnya menjadi rendah, yang berarti pula harganya pun menjadi berkurang banyak.
Dari beberapa uraian tersebut di atas, dapat disebutkan beberapa masalah yang berkaitan dengan kualitas dan harga komoditas sarang burung walet di berbagai daearah di indonesia sebagai berikut:
*
Sarang burung walet di Kabupaten daerah pada umumnya tercemar dan dipenuhi kotoran karena dihasilkan dari "Pola panen tetasan". Tercemarnya sarang ini karena sarang tersebut telah digunakan oleh burung walet untuk mengerami dan menetaskan anak-anaknya, sehingga sarang tetasan dipenuhi oleh kotoran anakan walet, juga dipenuhi pula oleh bekas-bekas kotoran dan hama pengganggu, seperti kecoa, kutu busuk atau air kencing kelelawar, sehingga warnanya tidak putih lagi. Pola panen tetasan ini terpaksa harus dilakukan oleh peternak walet di Kabupaten Jember dengan tujuan agar burung walet mempunyai kesempatan cukup untuk beregenerasi dan meningkatkan populasi.
*
Banyaknya bulu yang melekat pada sarang burung walet hasil dari para peternak walet yang meskipun berbentuk besar dan berserat baik, tetapi masih dihargai rendah di pasaran karena dianggap kurang baik (mengingat bulunya sulit hilang). Walaupun sebenarnya produk sarang walet itu mempunyai potensi besar untuk mendapatkan harga lebih tinggi apabila diproses terlebih dahulu sebelum dijual.
*
Berubahnya warna sarang walet bila disimpan lama serta mudah terserang jamur, Sehingga kualitasnya dapat berkurang. Hal ini karena sarang walet tersebut sudah mengalami pencemaran sejak diambil dari asalnya, Sehingga dalam tempat penyimpanan, sarang itu mengalami proses perubahan warna karena sudah mengandung spora jamur sejak dipetik dari rumah walet.
Banyaknya faktor yang selama ini digunakan untuk melakukan penilaian terhadap kualitas sarang burung walet mengakibatkan terjadinya keanekaragaman tingkat mutu dan kualitas pada komoditi jenis ini. dengan adanya tingkat kualitas ini, mengakibatkan pula terjadinya tingkat penilaian harga yang cukup besar bagi setiap kilogram produk sarang burung walet yang dijual oleh peternak walet di berbagai daerah. Kenyataan di pasaran menunjukkan, bahwa perbandingan harga sarang dapat berkisar antara satu untuk sarang berkualitas rendah dan tujuh kali lipat harganya bagi sarang berkualitas tinggi. Dengan kata lain semakin rendah kualitas sarang walet yang dijual, maka semakin rendah pula kemampuan tawar (bargaining power) peternak walet dalam melakukan transaksi dengan pedagang.
Selama ini yang terjadi pada usaha sarang burung walet di berbagai daerah adalah bahwa para peternak walet kurang mampu meraih nilai tambah tertinggi dari produk sarang burung yang dihasilkannya, semua ini berkaitan dengan tingkat performansi (penampilan) sarang burung walet yang dihasilkan tersebut kurang mampu memenuhi syarat-syarat kualitas tertinggi.
Namun karena pola panen sarang burung walet yang dipakai oleh kebanyakan peternak adalah " Pola Panen Tetasan", maka sarangnya menjadi tercemar baik oleh bulu maupun kotoran yang terdiri dari debu, bekas hama pengganggu dan lain sebagainya. Hal ini karena sarang walet tersebut sebelum dipanen, telah digunakan oleh burung walet itu untuk mengerami dan menetaskan telurnya serta mengasuh anak-anaknya. Sehingga akibatnya sarang walet itu mengalami perubahan warna (tidak putih bersih lagi) karena dipenuhi oleh bulu dan kotoran dari walet itu sendiri.
Pola panen ini secara umum diterapkan oleh para peternak walet di daerah dengan tujuan untuk mengembangkan populasi burung walet sebanyak-banyaknya sebelum nantinya digunakan pola panen lainnya. Namun konsekuensi dari pola panen seperti ini adalah kualitas sarangnya menjadi rendah, yang berarti pula harganya pun menjadi berkurang banyak.
Dari beberapa uraian tersebut di atas, dapat disebutkan beberapa masalah yang berkaitan dengan kualitas dan harga komoditas sarang burung walet di berbagai daearah di indonesia sebagai berikut:
*
Sarang burung walet di Kabupaten daerah pada umumnya tercemar dan dipenuhi kotoran karena dihasilkan dari "Pola panen tetasan". Tercemarnya sarang ini karena sarang tersebut telah digunakan oleh burung walet untuk mengerami dan menetaskan anak-anaknya, sehingga sarang tetasan dipenuhi oleh kotoran anakan walet, juga dipenuhi pula oleh bekas-bekas kotoran dan hama pengganggu, seperti kecoa, kutu busuk atau air kencing kelelawar, sehingga warnanya tidak putih lagi. Pola panen tetasan ini terpaksa harus dilakukan oleh peternak walet di Kabupaten Jember dengan tujuan agar burung walet mempunyai kesempatan cukup untuk beregenerasi dan meningkatkan populasi.
*
Banyaknya bulu yang melekat pada sarang burung walet hasil dari para peternak walet yang meskipun berbentuk besar dan berserat baik, tetapi masih dihargai rendah di pasaran karena dianggap kurang baik (mengingat bulunya sulit hilang). Walaupun sebenarnya produk sarang walet itu mempunyai potensi besar untuk mendapatkan harga lebih tinggi apabila diproses terlebih dahulu sebelum dijual.
*
Berubahnya warna sarang walet bila disimpan lama serta mudah terserang jamur, Sehingga kualitasnya dapat berkurang. Hal ini karena sarang walet tersebut sudah mengalami pencemaran sejak diambil dari asalnya, Sehingga dalam tempat penyimpanan, sarang itu mengalami proses perubahan warna karena sudah mengandung spora jamur sejak dipetik dari rumah walet.